twitter


Kartini tiada sama sekali melarang perempuan kawin, malahan hal itu dipandangnya pelabuhan yang paling banyak memberi bahagia kepadanya. Jadi belajar vak itu cuma perlu supaya jangan dapat dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukainya, dan juga supaya jangan merasa wajib takluk kepada suaminya.
(Sifat Cita-cita Kartini oleh Armijn Pane)

                 Banyak orang yang menganggap emansipasi Kartini belum selesai, masih banyak yang harus terus diperjuangkan. Tapi banyak pula yang menganggap emansipasi Kartini sudah cukup. Wanita sekarang sudah sejajar hak dan kedudukannya dengan pria. Tidak ada lagi perlakuan yang mengistimewakan pria dari wanita. Tentu kita semua menyadari bahwa cita-cita Kartini sudah tercapai sekarang. Kini, wanita sudah dihargai keberadaannya dan dapat berkembang. Tidak lagi kaku dan kolot akan adat lama dimana wanita selalu berada di bawah pria. Namun sepertinya wanita sekarang masih belum merasa cukup akan semua itu. Tampaknya mereka tidak hanya menginginkan kesamaan derajat dengan pria melainkan ingin dianggap lebih. Hal ini terlihat dari banyaknya wanita karir yang sudah melupakan kodratnya sebagai seorang wanita, anak, istri, dan ibu.
                Wanita karir, sebutan bagi wanita yang bekerja di luar rumah dengan status sukses. Mereka merasa bangga dan sangat terhormat dengan sebutan ini. Menjadi seorang wanita karir ialah idaman setiap wanita. Tak heran bila banyak mereka yang akan menjawab kelak aku akan menjadi wanita karir yang sangat sukses jika ditanya cita-citanya.
                Wanita karir ialah wanita pekerja yang tidak akan pernah puas akan kesuksesan yang telah diraih. Mereka terus giat bekerja untuk meraih segala impiannya. Ketika suatu impian telah tercapai maka mereka tidak akan berlama-lama berdiam diri. Mereka akan mulai membangun mimpi-mimpi mereka yang baru lalu berusaha untuk mewujudkannya. Tuntutan zaman maju tampak menjadi pacuan mereka bekerja keras. Mereka berusaha untuk memfokuskan dirinya pada suatu tujuan. Akibatnya mereka mulai kehilangan sisi kewanitaannya. Mulai melupakan impiannya untuk membentuk sebuah keluarga. Mereka tidak ingin terikat, tidak ingin tertekan, dan mereka tidak menginginkan karirnya hancur begitu saja karena harus menurut kepada suami kelak menikah nanti. Mereka beranggapan jika sudah sukses dan sudah memiliki semua yang mereka inginkan maka menikah tidak berguna lagi. Menikah hanya akan membuat diri mereka menderita.
              Karena kesibukannya, seorang wanita karir telah melupakan dirinya sebagai anak. Tidak ada lagi waktu baginya berkunjung untuk sekedar melihat keadaan orang tuanya. Bahkan lebih parahnya lagi, orangtuanya dikirim ke pantai jompo agar pekerjaannya tidak terganggu. Jika tidak demikian, mereka memanggil jasa seorang pembantu atau suster yang akan menemani orangtuanya di rumah dan mengurus segala keperluannya. Dengan begitu mereka merasa dapat lebih fokus pada pekerjaannya tanpa harus mengurus orangtuanya lagi.
             Sebagai seorang istri, wanita karir bukanlah istri yang baik untuk suaminya. Mereka tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Untuk sekedar membuat sarapan atau menyiapkan keperluan suaminya di pagi hari saja mereka tidak mampu, konon lagi harus mengurus rumah tangganya. Semua pekerjaan itu mereka tugaskan pada pembantu. Akibatnya banyak wanita karir yang tidak mampu mempertahankan rumah tangganya. Mereka terlalu disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah sehingga perhatian untuk rumah tangganya sangat kurang.
           Jika pasangan mereka berpenghasilan lebih rendah dari mereka maka wanita karir cenderung memperlakukan pasangannya dengan semena-mena. Tidak ada lagi rasa hormat pada suami. Secara tidak langsung mereka mulai mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Karena berpenghasilan lebih, mereka menuntut untuk tidak lagi mengurus rumah tangganya. Mereka juga cendrung bersifat angkuh, tidak mau peduli, egois, dan suka mengatur. Berbeda dengan wanita karir yang memiliki pasangan yang sukses juga. Mereka akan mengalah dan mau menurut pada suami selama itu tidak mengganggu pekerjaannya tapi tetap saja mereka bukanlah istri yang baik .
            Selain itu, tugas mereka sebagai seorang ibu mulai terlupakan. Ada sebagian wanita karir yang setelah menikah tidak ingin memiliki anak. Ada pula yang menginginkan anak namun tidak ingin mengandungnya. Mereka menggunakan jasa ibu sewa yang akan mengandung dan melahirkan anak mereka. Setelah anak tersebut lahir, mereka akan memanggil pengasuh bayi untuk mengurusnya. Ketika si anak menginjak remaja mereka mengirimkannya untuk bersekolah di asrama. Selama itu pula, mereka tidak pernah meluangkan sedikit waktu untuk anaknya, untuk sekedar memperhatikan pertumbuhannya pun tidak. Mereka beranggapan, dengan bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya maka itu akan membuat si anak bahagia. Akibatnya, si anak mendapatkan kasih sayang yang kurang. Mereka besar dan tumbuh oleh asuhan pembantu, termasuk memberi asi. Itu sebabnya banyak wanita karir yang sukses namun gagal sebagai ibu bagi anaknya.
          Agaknya jelaslah bagi kita semua bahwa kartini dan wanita karir sangatlah berbeda. Kartini menginginkan wanita itu maju dan berpendidikan agar lebih cakap untuk mengurus rumah tangganya dan mendidik anaknya. Itulah tujuan emansipasinya. Wanita karir itu jelas sudah melanggar nilai-nilai murni emansipasi Kartini. Untuk apa emansipasi jika pada akhirnya wanita-wanita itu melupakan kodratnya sebagai seorang wanita, anak, istri, dan ibu.
            Meskipun wanita itu maju dan berpendidikan tinggi, mereka adalah tetap wanita yang secara kodratis memang di bawah lelaki tapi bukan berarti dapat diperlakukan semena-mena. Menjadi wanita karir bukanlah suatu larangan bagi kaum wanita tapi tetap saja harus mengingat batasan-batasan tertentu. Mereka tetap harus mengingat kodrat mereka sebagai seorang wanita dan harus menjalankan fungsinya sebagai seorang anak, istri, dan ibu. Memberatkan memang, selain bekerja di luar mereka juga harus bekerja mengurus rumah tangganya dengan baik. Tapi itulah konsekuensi yang harus mereka tanggung sebagai wanita karir. Jika ini bisa diciptakan, maka wanita sekarang dapat menjadi wanita maju dan berpendidikan yang kelak akan membentuk penerus bangsanya. Mereka pasti sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi menuntut emansipasi melainkan dapat menghargai emansipasi tersebut.


Sebuah resensi novel Wanita Di Jantung Jakarta 
Judul Buku                  : Wanita Di Jantung Jakarta
Pengarang                   : Korrie Layun Rampan
Penerbit                       : Grasindo, Jakarta
Tahun                          : 2000, Cetakan I 2000
Jumlah Halaman          : 156+iv

            Novel  karya Korrie Layun Rampan ini memiliki ending yang sulit untuk ditebak. Meskipun begitu, novel ini telah berhasil menjadi salah satu bacaan hiburan yang berpikir dengan teknik penulisan yang jarang kita temukan pada karya sastra di Tanah Air.
            Korrie Layun Rampan adalah pengarang yang sangat cerdas memainkan ending cerita di setiap novelnya. Dalam novel Wanita Di Jantung Jakarta, Korrie berhasil  menanamkan question ending pada pikiran pembacanya. Lalu, Korrie pun membiarkan pembaca menyelesaikan sendiri ending novel ini.
Tema sentral cerita yang dipilih pun cukup menarik, yaitu kisah perjalanan nasib buruk tokoh Sumarsih. Penulis melukiskan kisah tersebut  dengan sangat klise yang diperkuat oleh dialog-dialog yang  tangkas dan cerdas.
          
“Jangan mencela orang yang teraniaya!” suara wanita lain dari arah yang lain terdengar dalam nada yang membela. “Tak baik mengumpat orang yang terkena bencana!”
“Memang tidak baik,” suara wanita yang lain lagi.
“Kebiasaan mengomel suami jangan dibawa-bawa ke sini.”
“Jangan banyak mulut. Kuremas bibirmu!” wanita yang tadi terdengar berang. “Apa urusanmu dengan wanita itu?”
(Halaman 7 Bagian Kesatu)

             Dialog tersebut sangat cerdas. Selain untuk memperkuat pendeskripsian suasana, penulis juga memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan moral. Pesan moral tersebut langsung ditegaskan penulis dalam dialog sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah.
             Alur  yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran yang didominasi alur mundur. Penyampaian cerita secara “curhat” antara tokoh Sumarsih dengan Sumarto memudahkan pembaca untuk menelusuri cerita demi cerita.
               Berawal dari perpisahan Sumarto dengan Sumarsih, konflik cerita mulai terlihat. Sumarsih menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya, Tantono untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Lalu, nasib pun mendera Sumarsih. Ia diceraikan suaminya karena ia hamil dengan alasan Sumarsih berselingkuh dengan pria lain. Selain itu, ia pun harus  kehilangan anaknya karena keguguran.  Kejadian ini juga dialami Sumarsih dengan dua suaminya setelah Tantono, yaitu Karsono dan Suwarto. Kehidupan Sumarsih pun semakin gelap. Tidak sampai di situ, Sumarsih juga tertipu calo TKW yang akhirnya mempertemukan Sumarsih dengan Sumarto, pujaan hatinya setelah sepuluh tahun berpisah.
               Nasib tokoh Sumarsih digambarkan penulis dengan sangat berlebihan namun cukup baik untuk membangkitkan ketertarikan pembaca terhadap novel ini. Barangkali jika kita membaca novel ini, kita akan tertawa melihat kekonyolan penulis dalam menggambarkan nasib buruk yang selalu mendera Sumarsih, terasa benar-benar tidak masuk akal.
                Pendeskripsian cerita dengan konotasi yang berlebihan membuat pembaca kesulitan untuk masuk ke dalam novel ini, namun inilah kelebihan penulis.

Langit malam tak tampak menguraikan hujan. Hanya kelam menyergap di seantero sudut kota, menyusup di antara pijaran lampu-lampu merkuri yang mempesiang malam Jakarta.
Angin tak juga menggugurkan daun-daun.
Gerah yang tadi terasa menyesakkan seakan lindap dalam bayangan kelam, menyusup ke awang-awang, dan pori-pori tanah. Segala yang panas dan mengandung dahaga seperti terserap oleh cuaca, terangkat ke cakrawala, memasuki ruang kesejukan purnama.
Di jauhan hanya deru yang tak kenal waktu.
(Halaman 1, Bagian Kesatu)

                Karena kesulitan pembaca untuk mengerti maksud Korrie dalam  novel ini maka secara tidak langsung Korrie membiarkan pembaca menafsirkan sendiri cerita novel ini seperti apa.
                Hal yang menarik dari novel ini adalah permainan perasaan pembaca oleh penulis yang selalu dipenuhi rasa penasaran terhadap bagaimana nasib tokoh Sumarsih selanjutnya. Selain itu, penulis juga sering menyelipkan peristiwa-peristiwa nyata yang dialaminya seperti,  pernah aku diceritakan kawanku Maaruf yang merasakan perjalanan kematian, sebuah perjalanan dalam langkah-langkah yang fantastis...
(Halaman 5 Bagian Kesatu)

                 Namun, dengan segala keindahan dan kelebihannya, novel ini membuat pembacanya kesulitan untuk menangkap maksud Korrie karena terlalu banyaknya penggunaan makna konotasi dalam setiap pendeskripsian cerita. Meskipun begitu, secara keseluruhan novel ini cukup bagus untuk mencerdaskan daya khayal pembaca dalam mendeskripsikan suatu hal.


Sebuah Sinopsis Novel Korrie Layun Rampan

        Profesi Sumarto sebagai wartawan, kuli tinta yang selalu berburu dengan waktu, membuatnya harus melintasi kawasan satu ke kawasan lainnya demi sebuah santapan berita. Inilah yang mengantarkannya sampai di kuburan pada larut malam. Kerumunan orang yang sedang menyaksikan sebuah wajah yang pasrah pada cahaya bulan menarik hati Sumarto untuk mengetahuinya lebih lagi. Ketika wajah tersebut mulai melawan pada cahaya bulan, bergerak perlahan, Sumarto merasa ia begitu dekat dengannya. Memorinya pun berkerja tajam untuk membalikkan masa-masa yang lewat. Tepat sekali, wajah tersebut memang pernah dekat dengan Suamrto, sepuluh tahun yang lalu, dimana keduanya pernah terikat oleh indahnya cinta di bangku kuliah.
        Sumarsih, begitulah nama wajah tersebut, wajah yang dulunya pernah mengisi hari-hari Sumarto. Sepuluh tahun terpisah membuat keduanya seperti tersengat listrik ketika kedua mata mereka bertatapan langsung.
        Kini Sumartodan Sumarsih duduk saling berhadapan. Semuanya masih sama seperti dahulu, tidak ada yang berubah pada diri mereka meskipun sepuluh tahun telah berlalu. Kesempatan ini mereka gunakan untuk menyampaikan unek-unek yang terpendam sekian lama termasuk hal apa yang mengantarkan mereka pada perpisahan yang sepihak.
         Ironis sekali bagi Sumarto mendengar Sumarsih meninggalkan bangku kuliahnya hanya untuk bersanding dengan lelaki lain, Tantono karena paksaan nasib. Maksud hati Sumarsih menikah dengan Tantono, seorang kaya di utara semata-mata hanya untuk memperbaiki kehidupan orangtuanya. Namun, sungguh sangat disayangkan semua yang terjadi bertolak belakang dengan harapan Sumarsih. Hidupnya pun semakin menderita dari sebelumnya.
        Nasib buruk belum juga berpindah dari Sumarsih. Tantono menceraikannya karena ia hamil. Ia menuduh Sumarsih bermain belakang dengan lelaki lain, Sumarto. Bukan itu saja, Tantono juga menyebabkan Sumarsih keguguran dan kehilangan anaknya. Setelah itu hari-hari Sumarsih selalu terisi kehampaan.
       Waktu berlalu, hidup dengan predikat janda membuat Sumarsih mulai cemas akan masa depannya sehingga pada suatu waktu ia bertemu dengan Karsono dan memutuskan untuk menikah dengannya. Lagi-lagi nasib mendera Sumarsih. Kenyataan yang terjadi selalu berbalik dengan harapannya, malah kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ternyata Karsono lebih bejat dari Tantono. Ia juga menceraikan Sumarsih  ketika Suamrsih hamil dengan tuduhan Sumarsih selingkuh dengan pria lain. Akibat perbuatan Karsono pula, lagi-lagi Sumarsih harus kehilangan anaknya dan bukan hanya itu saja, Sumarsih juga kehilangan perhiasan dan harta bendanya. Semuanya habis dijudikan oleh Karsono.
        Lelah dengan nasib yang begitu terus membuat Sumarsih mulai menutup dirinya terhadap lelaki namun ia tak kuasa menahan gejolak cintanya yang tumbuh kembali. Sumarsih jatuh cinta pada Suwarto, salah satu kolega bisnis perkebunan bawang putihnya. Saat itu keadaan perekonomian Sumarsih cukup baik daripada sebelumnya. Ia pun menerima lamaran Suwarto dan menggabungkan kedua bisnis mereka.
         Awal bahagia pernikahan terasa juga oleh Sumarsih ditambah bisnisnya pun semakin berkembang. Lalu keduanya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Nah, di Jakarta inilah Sumarsih kembali berhadapan dengan nasib buruk. Untuk ketiga kalinya ia diceraikan karena ia hamil dengan alasan yang sama, yaitu tuduhan selingkuh. Sumarsih pun kehilangan anaknya, Marisi. Rasanya takdir tak adil padanya, namun lagi-lagi Sumarsih masih bisa menjalani kehidupan ini meskipun dengan luka-luka yang begitu dalam terukir di hatinya. Belum cukup sampai di situ, bisnis Sumarsih pun bangkrut karena Suwarto menimbun hutang dimana-mana dan yang lebih menyakitkan lagi, nasib membawa Sumarsih terlibat dalam kasusnya Suwarto yang ternyata adalah seorang buronan yang paling dicari.
        Karena nasib buruk tersebut, Sumarsih berniat pergi ke luar negeri untuk menjadi seoarang TKW. Ia berharap dengan begitu ia mampu memperbaiki kehidupannya. Lagi-lagi harapan Sumarsih hanyalah angan-angan hampa belaka, sebab apa yang terjadi sangat berbalik dengan harapannya. Sumarsih tertipu calo TKW, Pitak Sastra yang telah menghabiskan seluruh harta bendanya. Keberadaan Sumarsih di kuburan anaknya, Marisi adalah strategi calo TKW tersebut untuk menelantarkan dan merampas harta bendanya Sumarsih.
         Hari-hari berlalu, cerita hidup Sumarsih pun kini usai untuk didengarkan oleh Sumarto. Pagi ini Sumarto berniat untuk melamar Sumarsih, mewujudkan mimpi-mimpinya dulu ketika masih bersanding sebagai pasangan kekasih dengan Sumarsih. Namun, Sumarsih menolak lamaran Sumarto karena merasa dirinya telah begitu hina untuk seorang Sumarto. Sumarto tidak mempedulikan alasan itu karena baginya itu benar-benar tidak masuk akal. Sembari menunggu jawaban lamaran dari Sumarsih, keduanya dikejutkan oleh kedatangan tamu yang tak diundang dan tentu saja itu mengganggu ketentraman hati keduanya.
         Tamu tersebut adalah petugas yang akan menjemput Sumarsih untuk pemeriksaan atas beberapa kemungkinan keterlibatan Sumarsih dengan kasus empat pria yang sebelumnya dekat dengan Sumarsih. Mendengar informasi tersebut, Sumarto diam hampir tak bernapas dan serasa berputar pada ruangan hampa menanyakan mengapa wanita di jantung Jakarta ini selalu didera keburukan nasib?


Write is a way to saying everything that you are feeling, well it happy, sad, nervous, worry, enjoy or  the other  feeling. Of course, it’ so important for us to know  because so many teenager who doesn’t know how to saying their feeling so is not frequently the thing make they feel frustation and finally fall down in things who make them danger such as narcotic, free sociality, and the other criminalities. With saying everything of all your feeling in write, you can express yourself to wanna be respected and understood with your writing. Inspite of that, also you can be popular with your writings.
Inspite of that, write can make us to be a open person, honest, happy, and healthy. Why? The research by Pannebaker in Methodist University has said that the teenager who like saying their feeling in writing futher more health their soul than the teenager who doesn’t saying their feeling in writing.
The other profit that you can accept in writing is you can investment your reward in the heaven how your writings can make people be motivated to be positive than before. With writing you can be rich, how your writings are respested and accept the royalti in the big number.
There’s one proverb who says, “Man can be smart as high as sky, but along he doesn’t write so he will lose from history. Write is work for eternal”
You can start write with use your daily-book or the other notes that you can bring wherever you go so you can saying your feeling whenever and wherever. I think it is so important for us to try, how you can apreciate yourself by writing and you get so many profit for it. So, let’s start to write everything that you are feeling!




Jadi belajar vak itu cuma perlu supaya jangan dapat dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukainya, dan juga supaya jangan merasa wajib takluk kepada suaminya. Jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.
(Sifat Cita-cita Kartini oleh Armijn Pane)

Emansipasi Kartini mungkin telah mencapai hasilnya sekarang. Wanita sudah sejajar hak dan kedudukannya dengan pria. Tidak ada lagi perlakuan yang mengistimewakan pria dari wanita. Kini, wanita sudah dihargai keberadaannya dan dapat berkembang. Tidak lagi kaku dan kolot akan adat lama dimana wanita selalu berada di bawah pria.
Tapi, sejauh manakah wanita menginginkan emansipasi kaumnya? Sayang sekali emansipasi wanita seperti apa yang dicita-citakan Kartini tidak lagi bertahan sekarang, mungkin kita semua ingin bertanya, sampai sejauh manakah emansipasi itu?
Yeni, teman ibu saya, pada awalnya melanjutkan kuliah pasca sarjananya  semata-mata hanya untuk memenuhi panggilan kerja. Beliau mendapatkan beasiswa kerja untuk pendidikan strata duanya. Setelah selesai dengan pendidikannya, beliau kembali bekerja dan naik jabatan. Karenanya, pekerjaan beliau semakin bertambah dan itu menyebabkan dia sangat sibuk. Pergi pagi, pulang larut malam, begitulah hari-harinya setelah naik jabatan. Karena kesibukannya itu, ia memutuskan untuk menunda pernikahannya padahal usianya sudah cukup umur. Akhir cerita, beliau tidak jadi menikah, calon suaminya merasa keberatan kalau harus menunda pernikahan mereka lagi ketika Yeni memutuskan untuk melanjutkan strata tiganya.
“Menikah itu bisa nanti, jika waktunya sudah tepat aku pasti akan menikah. Yang terpenting itu pendidikan dan pekerjaanku. Jika aku sukses, suami itu bakalan datang dengan sendirinya.” ujarnya ketika ibu saya menanyakan mengapa beliau belum juga menikah.
Tetangga saya yang berprofesi sebagai manajer di sebuah perusahaan memutuskan untuk sendiri setelah ia gagal berumah tangga sebelumnya. Beliau sudah terbiasa dengan kebebasan. Ia tidak ingin terikat dalam hal apapun, termasuk dalam suatu pernikahan dan pekerjaan. Pernah suatu ketika ia berhenti dari pekerjaannya karena merasa terkekang oleh tuntutan kerja yang tidak disukainya, padahal waktu itu ia sedang dipromosikan untuk naik jabatan.
“Untuk apa bekerja kalau tersiksa terus seperti itu, kaku dan tidak berkembang!” tegasnya ketika ditanya mengapa ia berhenti berkerja.
Begitu juga dengan pernikahannya yang hanya bertahan selama dua bulan. Ia merasa diperlakukan dengan rendah oleh suaminya. Benar-benar terkekang, apa-apa salah, pergi kemanapun tidak boleh jika tidak ditemanin suami. Harus menurut terus pada kata-kata suami, jika tidak maka akan disebut pembangkang.
“Dia maunya aku harus terus berada di rumah, menurut pada katanya, tidak boleh bekerja, pergi kemanapun tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa bebas sementara dia bisa kemanapun, melakukan hal-hal yang disukainya,” ungkapnya dengan kesal.
“Itulah sebabnya aku tidak mau menikah lagi. Aku tidak ingin menderita, tidak ingin terikat, tidak ingin tertekan, terlebih-lebih lagi aku tidak ingin kaku. Aku ingin berkembang.” tambahnya.
Wira, teman kakak saya, bercita-cita menjadi seorang wanita karir yang sukses. Dia beranggapan dengan menjadi seorang wanita karir, dia tidak perlu repot lagi mengurus anak dan rumah tangganya kelak jika sudah menikah. Semuanya akan dikerjakan oleh pembantu.
“Percuma dong aku sekolah tinggi-tinggi dan berkerja kalau harus mengurus anak dan suami lagi,” katanya dengan sewot.
Akhir-akhir ini banyak sekali wanita yang tidak mengenal pekerjaan rumah. Mereka tidak bisa memasak, mencuci pakaian, setrika, mengepel, dan sebagainya. Ini disebabkan oleh perkembangan budaya modern dimana segala sesuatunya instant. Selain itu, pola asuh anak sekarang yang terlalu dimanjakan juga menjadi penyebabnya. Karena ada pembantu, semua perkerjaan rumah diserahkan kepada pembantu. Anak tidak lagi diajari untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang kecil, memasak contohnya. Untuk sekedar memasak nasi saja pun, mereka tidak bisa.
Sebagian besar mahasiswi menganggap mereka tidak pantas untuk mengerjakan perkerjaan rumah. Bagi mereka, pekerjaan rumah hanya pantas dikerjakan oleh wanita-wanita yang berpendidikan rendah. Kakak saya yang kuliah jurusan teknik, seringkali malas jika disuruh masak. Menurutnya, memasak hanyalah pekerjaan wanita-wanita kalem saja. Sangat tidak cocok dengan dirinya yang tomboi.  Dia lebih memilih mencuci pakaian atau membersihkan rumah daripada memasak. Akibatnya, kakak saya tidak bisa memasak.
“Masak itu cocoknya buat wanita-wanita yang kerjanya pakai rok, yang hanya duduk manis  di kantornya. Nah, kalau untuk kami anak teknik, sangat-sangat tidak cocok.” ujarnya dengan santai.
“Baiklah sekarang masih dimasakin. Bagaimana jika kau sudah menikah nanti? Mau kau kasih makan apa suamimu?” komentar ibu saya.
“Gampang, kan ada pembantu. Untuk itulah aku sekolah baik-baik dan bekerja biar aku nggak ke dapur lagi.”  tambah kakak saya.
“Iya kalau suamimu mau makan masakan pembantu, kalau nggak gimana? Ibu aja yang bekerja masih harus ke dapur lagi.”
“Tapi kan zaman sudah berubah bu. Untuk itulah adanya emansipasi, biar wanita nggak harus selamanya ke dapur.”  jelasnya.
Sekarang ini banyak istri yang berpendidikan lebih tinggi dari suaminya. Tak heran bila jabatan dan penghasilan mereka juga lebih dari sang suami. Mereka-mereka itu sangat sibuk sekali. Semua waktu dan perhatiaan hanya tertuju pada karirnya. Mereka sangat jarang berada di rumah sehingga segala urusan rumah tangga dan mendidik anak mereka serahkan pada pembantu. Jika ada waktu libur,  mereka mempergunakannya untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor. Tiada lagi waktu buat keluarganya. Pada akhirnya, rumah tangganya berantakan, tidak terurus lagi. Anak-anak mereka pun tumbuh menjadi anak pembantu. Biasanya, mereka-mereka ini rentan dengan perceraian.
Selain tidak mampu mempertahankan kodratnya sebagai seorang wanita yang menjadi ibu, istri, dan anak. Wanita-wanita pekerja itu atau wanita karir biasa disebut kini juga telah melanggar emansipasi Kartini. Karena bisa maju dan berkembang, mereka ingin suatu kedudukan yang lebih dari pria, mereka tidak ingin sejajar. Perkembangan zaman membuat mereka lupa kacang akan kulitnya. Hal itulah yang pada akhirnya memunculkan gerakan “Powerful Woman”, wanita kuat seperti tokoh perfilman Cat Woman dan Charlie’s Angels.
Seperti itukah emansipasi yang diinginkan Kartini, emansipasi yang membuat wanita  lupa akan kodratnya sebagai seorang wanita?
Dalam suatu obrolan di twitter, aktor Darius Sinathrya mengatakan bahwa emansipasi dalam harapan Kartini ialah kesetaraan dalam segala hal, bukan hanya status tapi realita yang sebenarnya karena setiap manusia diciptakan sama, pria dan wanita untuk saling melengkapi.
Semaju apapun seorang wanita dan setinggi apapun pendidikannya, tentu mereka tetap harus mengingat kodratnya. Wanita boleh saja maju tapi ia harus ingat bahwa semua itu tidaklah boleh melebihi kodrat seorang pria, setara paling tidak. Wanita diberi kesempatan untuk maju dan berkembang agar kelak mampu menjadi ibu, istri, dan anak yang baik. Mereka mampu mengurus rumah tangganya dan mendidik anaknya dengan cakap. Dengan begitu dapat majulah bangsanya.
Seandainya Kartini melihat kenyataan ini, masih maukah beliau bersusah payah memperjuangkan emansipasi kaumnya? Dapatkah beliau mewujudkan cita-citanya itu? Banggakah beliau dengan emansipasi kini? Lantas, seperti apakah sebenarnya emansipasi wanita yang beliau inginkan?



                Saya memilih judul ini karena saya melihat masih banyaknya pelajar yang tidak menyukai perpustakaan. Mereka terlihat sangat asing dengan perpustakaan bahkan sama sekali tidak mengenalnya dengan dekat padahal perpustakaan ialah rumah belajar modern bagi masyarakat.  Merupakan hal yang sangat membosankan bagi mereka jika berada di perpustakaan dalam waktu  yang cukup lama. Barangkali pelajar sekarang hanya betah berada di perpustakaan dalam jangka waktu 10-15 menit, selama itu pula mereka tidak membaca tapi hanya sekedar melihat-lihat buku atau usil dengan temannya. Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak? Banyak pelajar sekarang yang tidak akrab dengan perpustakaan padahal seperti apa yang kita ketahui perpustakaan ialah sumber ilmu pengetahuan dan tempat belajar modern untuk menggapai cita-cita.
                Mengapa pelajar sekarang tidak begitu akrab dengan perpustakaan? Adakah yang salah dengan perpustakaan? Atau mungkin tidak begitu pentingkah  perpustakaan di mata mereka padahal banyak sekali keuntungan yang bisa kita dapat dari perpustakaan? Saya melihat banyaknya pelajar sekarang yang kurang tertarik dengan perpustakaan disebabkan oleh tidak adanya minat baca pada diri pelajar, minimnya sosialisasi untuk menggiatkan pelajar berkunjung ke perpustakaan, dan kondisi serta sarana dan prasarana perpustakaan yang kurang mendukung. Semua hal tersebut membuat pelajar merasa malas untuk mengunjungi perpustakaan sehingga pada akhirnya mereka merasa asing dengan perpustakaan itu sendiri.
                Tidak adanya minat baca pada diri pelajar menyebabkan pelajar malas untuk berkunjung ke perpustakaan yang identik dengan buku-buku. Tidak adanya minat baca ini disebabkan oleh tidak ditanamkannya budaya membaca sejak kecil di lingkungan keluarga. Kebanyakan anak sekarang baru mengenal buku itu ketika mereka memasuki bangku TK atau sekolah dasar. Akan tetapi mereka telah mengenal handphone jauh sebelum mereka memasuki bangku sekolah. Mengapa itu bisa terjadi? Banyak orangtua yang menyadari betapa pentingnya membaca tapi mereka tidak menyadari bahwa minat baca itu ditumbuhkan pertama kali oleh keluarga yaitu di rumah bukan di sekolah.  Akibatnya anak tidak mengenal budaya membaca sejak kecil sehingga ketika mereka mulai dewasa atau ketika mereka mulai mengenal bangku sekolah, mereka merasa sangat gelap ketika mereka diperkenalkan dengan buku.
                 Hal kedua yang menyebabkan pelajar merasa asing terhadap perpustakaan ialah minimnya sosialisasi untuk menggiatkan pelajar berkunjung ke perpustakaan. Selama ini perpustakaan dianggap sebagai tempat orang-orang cupu dan tempat nongkrongnya kutu buku. Anggapan pelajar tersebut tidak salah. Bagaimana tidak? Kita melihat bahwa minimnya sosialisasi untuk menggiatkan pelajar berkunjung ke perpustakaan menyebabkan pelajar tidak mengenal perpustakaan. Banyak sosialisasi yang mengajak pelajar untuk membaca dan berkunjung ke perpustakaan akan tetapi lebih banyak pula sosialisasi yang mengajak pelajar untuk  mengikuti perkembangan zaman, misal: nongkrong di mall, kongkow dengan teman-teman, gonta-ganti handphone, pacaran, dan lain sebagainya. Malahan para artis kita pun selalu berpose dengan pakaian minimnya atau dengan atraksinya yang tidak wajar yang memegang handphone, softex, kondom, obat kuat, dan lain-lain yang hanya untuk mengajak khayalak ramai berbondong-bondong meniru gayanya tersebut.
                   Kondisi serta sarana dan prasarana perpustakaan yang kurang mendukung terkadang memberi kesan sumpek bagi pengunjungnya. Tidak semua perpustakaan memiliki kondisi yang nyaman yang kemudian difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Hal ini menyebabkan pelajar merasa enggan untuk mengunjungi perpustakaan. Bayangkan saja jika perpustakaan yang mereka kunjungi dipenuhi dengan tumpukan buku dimana-mana, banyak abu, bangku dan meja baca yang sudah rusak, dan lain-lain. Apakah kita mau mengunjungi perpustakaan? Coba saja pemerintah dan kita semua di sini bekerjasama untuk menciptakan perpustakaan semegah mall atau pusat perbelanjaan lainnya, pasti akan banyak sekali pelajar yang senang menghabiskan waktunya di perpustakaan.
                    Kita bisa menumbuhkan minat baca pada diri kita sendiri dengan cara mencoba mengenalkan buku pada diri kita dan mulai membiasakan diri untuk membaca sehingga nantinya kita jauh lebih dekat dengan perpustakaan. Kemudian mari bersama kita sosialisasikan giat membaca dan berkun jung ke perpustakaan yaitu dengan mengajak seluruh masyarakat untuk mengkampanyekan hal tersebut. Begitu juga dengan para artis, seharusnya mereka bisa berpose dalam poster dengan memegang buku dan memberi kesan untuk ayo membaca dan poster mereka tersebut dipajang di perpustakaan sehingga semakin banyak pelajar yang akan sering mengunjungi perpustakaan untuk membaca dan melihat poster artis favorit mereka. Begitu juga dengan kondisi serta sarana dan prasarana perpustakaan yang memadai tentunya akan menarik pelajar untuk lebih dekat mengenal perpustakaan apalagi jika perpustakaan dibuat serupa megahnya dengan mall atau pusat perbelanjaan pasti perpustakaan akan menjadi ruang konsultasi yang terbaik bagi orang bijak.
                    Saya berharap melalui tulisan ini, kita semua dapat bersama mengkampanyekan budaya membaca di kalangan pelajar sehingga nantinya perpustakaan tidak lagi menjadi suatu hal yang asing bagi pelajar melainkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan tempat belajar modern bagi pelajar dalam menggapai cita-citanya karena perpustakaan ialah rumah dunia dan rumah kita bersama untuk belajar.
                     Jika kita kurang begitu dekat dengan perpustakaan, mulailah sekarang untuk lebih megenal dekat perpustakaan karena banyak sekali ilmu pengetahuan yan bisa kita dapatkan dari perpustakaan.


            “Sandal Paris, sandal Paris! Cuma lima belas ribu, beli dua pasang tiga puluh ribu, sandal Paris! Yang mau yang enggak kemari, sandal Paris!” Teriak si penjual sandal. Suaranya terdengar semakin kuat mengimbangi suara penjual sebelahnya.
“Mangga manis, mangga manis! Lima ribu lima ratus rupiah saja untuk mangga manis. Dijamin manis dan yang beli pun manis. Mari-kemari, mangga manis!” Timpal yang lain.
“Tomat-tomat, tomat murah... tomat murah!” Tambah yang lainnya lagi.
“Kaos Justin Bieber, cuma dua puluh lima ribu. Pilih-dipilih, kaos Justin. Jangan sampai ketinggalan!” Sambung yang sebelahnya.
Riuh dan sumpek, begitulah khas pasar Tavip Binjai. Para pedagang saling berlomba mempromosikan dagangannya. Ada-ada saja cara mereka untuk menarik pembeli. Mulai dengan kata-kata obral yang dilontarkan, penawaran-penawaran gila sampai menjemputi pembeli untuk melihat barang dagangannya. Jika pembeli masih enggan melihat, mereka akan terus memaksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu. Karenanya, tak sedikit juga pembeli yang habis kesabaran lalu marah-marah. Kalau sudah begitu, si penjual pergi lalu mengumpat kesal dalam hatinya.
Aku telah selesai belanja ketika sampai di pintu luar pasar Tavip. Sebelum pulang, kuingat-ingat dulu semua barang yang kuperlukan, sudah dibeli semua atau belum. Barangkali masih ada yang tertinggal, pikirku. Ternyata benar, aku lupa membeli handuk lap dapur yang sudah robek itu. Ahhh... Malas sekali rasanya kalau harus melangkahkan kaki ke dalam pasar itu lagi. Akhirnya kuputuskan untuk membelinya di emperan toko depan. Kualitasnya pasti lebih baik, kalau harga bisa bersaing, bisikku dalam hati.
“Medan-Medan. Medan dek, Medan.” Teriak si supir angkot. Aku menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
“Kuala-kuala” Jumbo kuning itu melintasiku. Aku masih menunggu angkot belakang melintas ketika hendak menyebrang jalan.
“Stabat-Stabat” Bujuk si supir.
“Enggak bang!” Kali ini aku menjawab, tapi sepertinya ia tidak peduli dengan kataku. Ia masih berteriak ‘Stabat-Stabat’ dan melihat ke arahku. Kelihatannya ia memaksaku untuk naik. Yang benar saja, aku ingin menyebrang, bukan menunggu angkot. Lagian kalau ya, aku pasti tidak akan naik angkotmu. Rumahku ke arah Medan bukan Stabat, batinku kesal. Aku menunggu beberapa detik namun rasanya jumbo kuning itu belum melintasiku juga. Dengan terpaksa aku berjalan ke samping melewati bagian belakang angkot itu lalu menyebrang di sela jalan yang kosong.
Seperti inilah pasar Tavip. Tak hanya pedagang saja yang riuh dengan promosi barang dagangannya, tapi supir-supir angkot yang melintasi pasar Tavip juga. Hal tersebut menambah keriuhan pasar. Jika pasarnya dipadati pengunjung maka jalanannya pun dipadati oleh belasan angkot, belum lagi becak dan kendaraan pribadi lainnya. Sempitnya jalanan tentu tidak memungkinkan beberapa kendaraan parkir, tapi kenyataannya itulah yang terjadi sehingga jalanan menjadi macat. Dulu sekali, aku pernah muntah ketika angkot yang aku naiki terjebak macat. Bagaimana tidak? Siapa sih yang tahan dengan udara panas yang pengap dan penuh asap kendaraan, kondisi jalanan yang sumpek, dan bau busuk sayuran yang menyengat yang menyapa tubuh?
Sambil menenteng belanjaan, aku mencari toko kain yang tepat untuk kusinggahi, dan aku menemukannya. Kubaca pamflet nama toko yang dipajang di dinding pintu masuk bagian atas, ‘Toko Kain Jadi Ada’ dan akupun memasukinya. Kuletakkan belanjaanku di sudut toko dan mulai memburu handuk lap yang aku butuhkan, untuk itu aku dibantu oleh seorang penjaga tokonya.
Ketika hendak menjatuhkan pilihan, aku terusik oleh seorang bocah yang menyentuh tanganku. Aku berpaling, iapun mulai menunjukan sikap memelas. Dengan menengadahkan tangannya, ia meminta belas kasihanku. Aku tersentuh, segera kuambil dompetku dan mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribuan. Aku hendak memberinya, tampak olehku ia telah sigap untuk menerima uang tersebut, tapi sayang sekali, penjaga toko membentak marah bocah itu dan mengusirnya keluar. Barangkali ia tidak ingin pengunjung tokonya merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu.
“Jangan dikasih Mbak, nanti kebiasaan,” Ujarnya dengan sopan.
“Ohh... tidak apa, hanya sesekali saja,” Jawabku lembut. Aku segera menangkap kekesalan pada wajah penjaga toko itu meskipun ia berusaha untuk menutupinya.
“Masih sekolah?” Tanyaku pada bocah itu, ia mengangguk perlahan. Mungkin ia enggan bicara karena merasa takut pada penjaga toko. Aku tersenyum padanya ketika memberi uang.
“Ini, ambillah. Jangan malas sekolah agar kelak kau tidak meminta lagi seperti sekarang!’ Ucapku.
“Terimakasih banyak kak, murah rejeki,” Setelah mengucapkannya, ia bergegas pergi ke luar toko. Kini, aku tidak menemukan sosoknya lagi.
Begitu menemukan handuk lap yang cocok, aku langsung membayarnya dan bergegas pulang. Badanku terasa demikian letih, rasa gerah mulai menghampiri. Aku berjalan menyusuri emperan toko menuju simpang jalan ketiga depan untuk naik angkot. Ya, aku berada di emperen toko jalan Jend. Sudirman yang merupakan jalanan utama pusat kota Binjai, jadi tidak ada angkot yang diperbolehkan melintasi jalan tersebut mulai dari simpang pajak sampai simpang jalan ketiga depan. Jalanan ini sangat ramai, mungkin hal itu dilakukan untuk mengurangi kemacatan.
Belanjaanku jatuh, aku menunduk mengambilnya. Ketika hendak berdiri, aku melihat seorang bocah telah berada di depanku. Sama seperti sebelumnya, ia tidak berkata apa-apa, hanya diam saja. Aku bisa membaca tingkahnya. Kali ini, aku harus menolak, pikirku.
“Maaf, minta izin ya dek,” Kataku. Aku memutar badan dan bergegas pergi, namun bocah tadi kembali mengusikku. Ia berusaha berjalan sejajar denganku, tapi masih saja diam. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Kami masih berjalan sejajar hingga aku berkata sekali lagi padanya.
“Maaf banget dek, saya tidak punya uang lagi.” Ujarku berbohong.
Kukira ia akan pergi, namun aku keliru. Dia belum beranjak juga dari sampingku. Aku masih berjalan dan bersikap cuek padanya hingga akhirnya ia bicara.
“Kak, minta sedekahnya. Lapar kak, belum makan.” Ia mendahuluiku dan berhenti tepat di depanku sekarang.
“Kak, tolong kak, sedekahnya. Saya belum makan,” Ulangnya sekali lagi.
Dengan menarik napas aku berpikir sejenak, ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mengeluarkan uang pecahan lima ribu dan memberikannya. Kali ini ekspresiku datar saja.
“Terimakasih kak!” Ia pergi begitu saja tanpa menoleh padaku. Aku bergumam, dasar anak bandel!
Aku berjalan menenteng belanjaanku. Cukup melelahkan memang kalau harus melakukannya seorang diri. Kulap keringat yang mengucur di keningku, aku sangat capek sekarang. Hanya buang waktu kalau harus berhenti dulu padahal simpang jalannya sekitar dua puluh meter lagi, tapi sepertinya aku sudah nggak sanggup lagi. Kini, kakiku lemah untuk berjalan. Kulihat ada warung duduk kecil, aku berhenti minum di situ saja dulu, pikirku.
Seruput... ah segarnya! Tiba-tiba mataku menangkap sosok kedua bocah peminta tadi sedang berbicara dengan seorang pria hitam yang berbadan besar dan penuh tato. Si pria bertato tampak marah pada keduanya. Aku melihat dengan kasar ia mengambil uang dari tangan mereka lalu melemparkan bungkusan hitam kecil. Setelahnya, ia bergegas pergi. Kedua bocah tadi langsung tersungkur ke tanah dan mengambil bungkusan itu. Mereka membukanya, dua bungkus roti dan dua gelas air mineral. Dengan segera mereka langsung melahapnya habis dan tak bersisa. Aku menelan ludah melihatnya. Sepertinya, mereka sudah tak makan selama setahun lebih.
Aku bangkit dari bangkuku, rasanya kaki ini sudah cukup kuat untuk berjalan sekarang. Sebelum pergi, aku menoleh lagi pada kedua bocah itu. Kulihat mereka, Ya Tuhan! Mereka ngelem, ya ngelem. Masih sekecil itu ia ngelem? Aku benar-benar terkejut. Jadi, uang yang mereka kumpulkan dari meminta-minta bukan untuk sekolah atapun membeli makanan, tapi untuk ngelem. Pantasan saja mereka terlihat kurus kering seperti lidi. Aku dibohongi, aku nggak bisa terima itu. Mereka memanfaatkan kebaikanku. Penjaga toko tadi benar, peminta seperti mereka tidak perlu dikasihani.
Dengan emosi aku menuju ke arah kedua bocah itu. Mereka tampak terkejut oleh kehadiranku. Wajahku merah padam, keringat mulai mengucur, dadaku sesak menahan luapan emosi ini. Melihatku, mereka diam dan menunduk. Ada sedikit perasaan takut yang menghampipriku.
“Kurang ajar! Kau bohongi aku ya! Kau bilang lapar, rupanya ini yang kau lakukan!” Bentakku.
“Mau jadi apalah kalian ini?” Tambahku marah.
Mereka diam saja. Kulihat mereka sangat ketakutan, marahku sedikit mereda. Ahh... sudahlah, mengapa pula aku harus mencampurinya? Terserah mereka mau bagaimana, yang penting sekarang aku tahu, tidak ada gunanya lagi mengasihani peminta-minta.
Aku membalikkan tubuh, berniat meninggalkan mereka. Belum sempurna betul posisi tubuhku tiba-tiba, Ups, aghhh! Pukulan dan dorongan keras seseorang kurasakan. Aku terjatuh, ahhh... sakitnya! Aku meringis, pundakku agak kaku untuk digerakkan, dan lutut kananku pun berdarah. Aku dipukul, Ya Tuhan! Dompetku hilang.
Aku segera bangkit berdiri dengan lutut kanan yang berdarah. Belanjaanku pun berserakan. Kulihat kedua bocah itu sudah tidak ada. Pasti mereka telah bersekongkol untuk mencurinya. Aku berlari ke jalanan dan berteriak minta tolong. Dengan segera orang banyak menghampiriku. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Saya baru dirampok, dompet saya hilang! Tolong saya, tolong!” Aku berkata histeris. Kulihat kedua bocah itu berlari mengejar pria hitam besar tadi. Ada apa sebenarnya? Mengapa mereka mengejar, bukankah seharusnya mereka bertiga berlari bersama? Aku bertanya-tanya dalam hati.
“Itu mereka, itu yang merampok saya. Ayo kejar mereka, ayo!” Akupun berteriak pada orang banyak itu. Tanpa dikomandoi, kamipun langsung berlari mengejarnya. 
Beramai-ramai kami berlari mengejar mereka. Dengan rasa perih di lutut, aku berlari antara sadar dan tidak. Aku tidak tahu dimana sekarang kami berada. Tatapanku kosong ke depan, jalanan ini agak sepi oleh kendaraan. Sepertinya aku mulai mengenal tempat ini. Ini jalanan belakang toko, ya... aku ingat tempat ini! Kami masih berlari, sesekali aku teriak Hei, berhenti kau!
Langkahku terhenti tatkala kulihat kedua bocah itu terjatuh. Mereka menarik lengan pria itu dan memukulinya, tapi sayang sekali, mereka tak cukup kuat. Mudah saja bagi pria itu menyingkirkannya. Ia mendorong kedua bocah itu hingga  terjatuh lalu menendang keras tubuh mereka. Keduanya meringis kesakitan, tapi tak ada satupun yang menangis. Dengan sebisanya mereka mencoba bangkit, namun satu diantaranya jatuh. Ia tak mampu lagi untuk berdiri, sementara pria itu sudah semakin jauh. Sepertinya dia akan memenangkan pertandingan lari ini, dan aku harus merelakan dompetku.
“Kau disini saja, aku akan mengejarnya. Tunggu sini,” Bocah tadi berkata sementara temannya tidak menjawab apapun. Temannya itu hanya menunduk lemah memegangi kakinya yang sakit. Aku berlari mendapati bocah yang terjatuh tadi, sementara yang lain terus berlari mengejar pria itu.
“Saya baik, kaki saya nggak apa-apa kok. Ini sudah biasa,” Ia berkata pelan dan mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Air matanya menetes.
Aku diam dan tak mengatakan apapun. Aku berlari terus meninggalkan bocah itu sendirian. Kini aku semakin ketakutan. Bukan dompet itu yang kutakuti hilang atau apapun, tapi aku takut terjadi sesuatu pada bocah itu.
“Heh... berhenti kau. Berhenti!” Dengan serentak kami berteriak kasar padanya. Aku tidak melihat bocah yang mengejarnya tadi. Rupanya ia terjatuh di aspal samping kiri depan, tangannya berdarah. Ia masih mencoba untuk bangkit.
Rasa-rasanya aku bakalan menjadi pemenang. Kulihat jalanan depan sangat ramai. Tidak ada pilihan lain untuk kabur dari kejaran selain menyebrang, sementara jalanan sedang padat lalulintas. Pria tadi masih belum menyerah juga, ia berusaha untuk menyebrang dan tentu saja itu tidak akan pernah berhasil.
Kami semua berlari semakin dekat ke arahnya. Itu membuatnya ketakutan, ia takut diamuk massa. Ia bergegas menyebrang jalan dengan tak karuan, pikirannya tidak tenang. Tatapannya masih ke arah kami tapi tubuhnya terus berjalan menyebrang. Ia tidak peduli lagi dengan kendaraan-kendaraan yang melaju cepat. Banyak orang yang mengumpatnya dan berteriak kasar.
 “Kau mau mati. Minggir, di rel kereta lebih cepat!” Teriak pengemudi motor.
“Woyyy... dasar orang gila!” Ujar pengendara becak.
Ia diam dan masih terus menyebrang. Kali ini maut hendak menjemputnya. Ia pasti dibawa ke neraka jahanam. Tampak sebuah mobil menyusup cepat dari belakang dan pria tadi tidak melihatnya, begitu juga dengan si pengemudi. Kami semua berhenti dan berteriak, “Awas, ada mobil kencang ke arahmu!”
Pria tadi melihat ke arah mobil yang hendak menabraknya. Kelihatannya si pengemudi mobil sedang berusaha untuk menginjak rem, tapi sepertinya hal itu tidak  akan bisa dihindari lagi. Jaraknya begitu dekat, kini pria dan pengemudi mobil sama-sama pasrah dengan apa yang akan terjadi. Entah mengapa, semuanya terasa hening saat ini.
“Bapakkkk... awas pak!” Tiba-tiba saja bocah di sampingku itu berteriak dan berlari ke depan mendahului kami. Suaranya melengking, mengusik ketenangan yang sejenak tadi. Ia berlari mendekati pria itu. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat. Ini seperti mimpi saja. Mendengar suara bocah tadi, pria itu berpaling dan melihat ke arahnya. Ia meneteskan air mata penyesalannya. Aku bingung dengan semuanya. Apakah mereka bapak-anak? Jika ya, mengapa pria itu membiarkan anaknya ngelem? Mengapa pula ia mendorong dan menendang kedua bocah itu? Ada apa sebenarnya? Pikiranku benar-benar kacau saat ini, kepalaku mulai pusing.
Aku tersadar oleh suara orang banyak di sebelahku, mereka berteriak jangan. Apa maksudnya? Kulihat bocah tadi mendorong pria itu ke trotoar jalan. Ia membiarkan dirinya tertabrak. Aku tidak sanggup melihat semuanya itu. Tubuhku benar-benar ringan sekarang, pandanganku gelap, dan kepalaku berputar-putar, rasanya berat sekali. Aku jatuh terkulai di aspal. Ketika aku membuka mata, samar-samar kulihat bocah itu naik ke langit. Ia menoleh padaku dan tersenyum. Tiada sedikitpun aura kesedihan di wajahnya. Aku menatapnya heran, sayup-sayup kudengar, “Wanita ini pingsan! Cepat tolong dia,” Aku menoleh ke jalanan tadi, darah telah mengusap aspalnya.